TAMU Hotel & Suites, Kuala Lumpur 03/01/2021
“The present is the past rolled up for action and the past is the present unrolled for understanding.” – Ariel and Will Durant (The Lessons of History)
Tahun 2020 kini telah berlalu dan usah pula kita melupakannya, terutamanya pengajaran yang kita perolehi. Oleh itu, dalam kita melangkah ke tahun baharu yakni 2021, mari bersama kita renung semula tentang bagaimana harus kita menyemangati pelajaran atau pengajaran dari masa lalu.
Yang terutama di fikiran saya sekarang adalah persoalan perpaduan kaum. Meski akan ada pandangan yang bertentangan, saya percaya saya berdiri di lipatan sejarah yang betul dalam menegaskan kembali penghargaan kepada para pemimpin kita yang terdahulu yang telah mencurahkan jiwa dan raga mereka demi perpaduan dan semangat kebersamaan di negara ini.
Sosok seperti Onn Ja’afar, Ahmad Boestamam, dan Dr Burhanuddin al Helmy dan wawasan mereja untuk sebuah Malaya yang merdeka, majmuk dan bersatupadu. Kita juga ada tokoh-tokoh lain seperti Tan Cheng Lock, H.S. Lee dan V.T. Sambanthan yang tidak hanya sekadar pemuka pada kesepakatan politik, tetapi adalah pemimpin yang punyai keberanian dan keyakinan untuk melihat jauh melampaui persoalan ras dan agama.
Dan juga Tunku Abdul Rahman yang memberi contoh dan teladan tentang bagaimana harus dikemudi sebuah negara yang demokratik dan berbilang kaum dan agama seperti Malaysia.
Kita mesti menolak segala suara yang menganjurkan perpecahan dan pertembungan kaum, dan juga mereka yang tidak ada matlamat lain selain meruntuhkan kerukunan yang telah kita bina selama ini.
Elit politik di negara mesti ada sikap empati dan kesedaran terhadap nasib mereka yang miskin dan terpinggir, di desa dan di kota serta di pedalaman Sabah dan Sarawak.
Justeru, mendukung prinsip-prinsip murni ini adalah satu hal, dan kekal berprinsip meski diserang dan tidak menyerah kepada suara-suara ini adalah satu hal lain yang berbeda. Apatah lagi dalam suasana politik hari ini yang begitu rapuh serta goyah, dan godaan untuk tunduk kepada golongan ini dilihat seakan penting.
Di sinilah aspek kepimpinan itu teruji. Bagi KEADILAN dan Pakatan Harapan, ini bukan ujian atau perlumbaan tentang siapa yang ada kekuatan suara terbanyak dari kaum atau agama apa, tetapi ia adalah ujian sebenar tentang siapa yang benar-benar komited untuk membangun masa depan bangsa.
Oleh itu, Pakatan Harapan dan pasukan progresif yang lain mesti hidupkan semula agenda reformasi, prinsip kebertanggungjawaban dan ketelusan serta tatakelola yang baik. Ini bukan hanya tentang kegagalan kerajaan hari ini, dan juga bukan soal kuasa dan mandat rakyat yang dirampas oleh sekumpulan kecil orang politik yang terus-terusan menginjak prinsip kebertanggungjawaban dengan menyalahguna kuasa darurat dan berbagai cara licik yang lain. Bukan juga tentang mereka yang bermegah-megah dengan harta dan kekayaan serta gaya hidup yang melampau. Segala pelanggaran etika serta prinsip tatakelola ini tidak akan dilup
“The present is the past rolled up for action and the past is the present unrolled for understanding.” – Ariel and Will Durant (The Lessons of History)
Tahun 2020 kini telah berlalu dan usah pula kita melupakannya, terutamanya pengajaran yang kita perolehi. Oleh itu, dalam kita melangkah ke tahun baharu yakni 2021, mari bersama kita renung semula tentang bagaimana harus kita menyemangati pelajaran atau pengajaran dari masa lalu.
Yang terutama di fikiran saya sekarang adalah persoalan perpaduan kaum. Meski akan ada pandangan yang bertentangan, saya percaya saya berdiri di lipatan sejarah yang betul dalam menegaskan kembali penghargaan kepada para pemimpin kita yang terdahulu yang telah mencurahkan jiwa dan raga mereka demi perpaduan dan semangat kebersamaan di negara ini.
Sosok seperti Onn Ja’afar, Ahmad Boestamam, dan Dr Burhanuddin al Helmy dan wawasan mereja untuk sebuah Malaya yang merdeka, majmuk dan bersatupadu. Kita juga ada tokoh-tokoh lain seperti Tan Cheng Lock, H.S. Lee dan V.T. Sambanthan yang tidak hanya sekadar pemuka pada kesepakatan politik, tetapi adalah pemimpin yang punyai keberanian dan keyakinan untuk melihat jauh melampaui persoalan ras dan agama.
Dan juga Tunku Abdul Rahman yang memberi contoh dan teladan tentang bagaimana harus dikemudi sebuah negara yang demokratik dan berbilang kaum dan agama seperti Malaysia.
Kita mesti menolak segala suara yang menganjurkan perpecahan dan pertembungan kaum, dan juga mereka yang tidak ada matlamat lain selain meruntuhkan kerukunan yang telah kita bina selama ini.
Elit politik di negara mesti ada sikap empati dan kesedaran terhadap nasib mereka yang miskin dan terpinggir, di desa dan di kota serta di pedalaman Sabah dan Sarawak.
Justeru, mendukung prinsip-prinsip murni ini adalah satu hal, dan kekal berprinsip meski diserang dan tidak menyerah kepada suara-suara ini adalah satu hal lain yang berbeda. Apatah lagi dalam suasana politik hari ini yang begitu rapuh serta goyah, dan godaan untuk tunduk kepada golongan ini dilihat seakan penting.
Di sinilah aspek kepimpinan itu teruji. Bagi KEADILAN dan Pakatan Harapan, ini bukan ujian atau perlumbaan tentang siapa yang ada kekuatan suara terbanyak dari kaum atau agama apa, tetapi ia adalah ujian sebenar tentang siapa yang benar-benar komited untuk membangun masa depan bangsa.
Oleh itu, Pakatan Harapan dan pasukan progresif yang lain mesti hidupkan semula agenda reformasi, prinsip kebertanggungjawaban dan ketelusan serta tatakelola yang baik. Ini bukan hanya tentang kegagalan kerajaan hari ini, dan juga bukan soal kuasa dan mandat rakyat yang dirampas oleh sekumpulan kecil orang politik yang terus-terusan menginjak prinsip kebertanggungjawaban dengan menyalahguna kuasa darurat dan berbagai cara licik yang lain. Bukan juga tentang mereka yang bermegah-megah dengan harta dan kekayaan serta gaya hidup yang melampau. Segala pelanggaran etika serta prinsip tatakelola ini tidak akan dilup
Category
🗞
News